Masih adanya pihak yang menolak hasil akhir draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disepakati, tak menyurutkan DPR dan pemerintah bakal tetap mengesahkan RKUHP dalam waktu dekat menjadi UU.
Pemerintah mempersilakan pihak-pihak yang menolak atau tidak sependapat dengan materi RKUHP agar menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materil RKUHP setelah menjadi UU ke Mahkamah Konstitusi.
“Perbedaan pendapat sah-sah saja. Kalau pada akhirnya nanti (masih ada kontra, red), saya mohon ‘gugat’ saja di MK lebih elegan caranya,” ujar Menkumham Yasonna H Laoly di Komplek Gedung Parlemen, Senin (5/12/2022).
Menurutnya, perbedaan pendapat di negara demokrasi merupakan hal biasa. Tapi, ketimbang masih menggunakan KUHP peninggalan kolonial Belanda yang sudah ketinggalan zaman, lebih baik menggunakan RKUHP atau KUHP nasional yang cenderung lebih reformatif. Terlebih, penyusunan RKUHP yang sudah berjalan 60 tahunan dan pembahasan di DPR selama 7 tahun. Ia menyadari produk legislasi memang tak ada yang sempurna. Karenanya, masyarakat yang tidak sepakat dengan materi RKUHP bila disahkan menjadi UU dipersilakan menempuh jalur hukum ke MK.
Mantan anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu memaklumi kerap terjadi perbedaan pandangan di tengah publik menyikapi RKUHP. Menurutnya, produk legislasi tak dapat memuaskan keinginan seluruh elemen masyarakat. Tapi yang pasti, dalam pembahasan RKUHP, pemerintah telah menyerap berbagai masukan dari banyak elemen masyarakat.
Bahkan, pemerintah telah menggelar dialog publik dan sosialisasi RKUHP di periode 2022 di 11 kota besar di Indonesia. Termasuk menyerap masukan dari berbagai perguruan tinggi, lembaga bantuan hukum (LBH), Aliansi Nasional Reformasi KUHP maupun Dewan Pers. Hasil dari sosialisasi dialog publik, masukan elemen masyarakat, dan stakeholder ditampung sebagai bahan memperbaiki materi draf RKUHP.
“Ada perbaikan dan masukan-masukan masyarakat ada yang kami softing down, lembutkan,” ujarnya.
Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Prof Jimly Asshiddiqie mengimbau publik agar menerima pengesahan RKUHP menjadi UU dalam rapat paripurna yang rencananya bakal digelar pada Selasa (6/12/2022). Menurutnya, menerima pengesahan menjadi UU tidak berarti berhenti mengkritisi materi RUU KUHP bila disahkan menjadi UU.
“Sudah terima saja dulu sambil kritisisme kita jangan berhenti. Kalau ada pasal-pasal (dinilai) tidak adil, ya diajukan kepada Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Bagi anggota DPD ini, RKUHP berstatus mendesak agar disahkan menjadi UU terlebih dulu. Sebab, KUHP peninggalan kolonial Belanda yang digunakan selama ini tak lagi relevan dengan perkembangan hukum dan dinamika masyarakat. Meskipun demikian, ia sepakat rumusan materi RKUHP dinilai masih belum sempurna. Tapi, seiring berjalannya waktu bakal terdapat beragam masukan masyarakat terkait penerapan KUHP baru yang nantinya bisa diperbaiki.
Sederet pasal bermasalah
Sementara di luar Gedung DPR terdapat elemen masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa penolakan terhadap RKUHP. Masyarakat yang terdiri dari sejumlah lintas komunitas yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengelar aksi simbolik tabur bunga dan membakar kitab RKUHP di depan gedung DPR sebagai tanda atas kematian demokrasi di Indonesia.
“Aksi ini dilakukan setelah Pemerintah dan DPR berencana mengesahkan RKHP dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada Selasa 6 Desember 2022. Padahal aturan ini ditolak oleh masyarakat,” ujar Direktur Eksekutif LBH Jakarta, Citra Refarendum melalui keterangan tertulisnya.
Menurutnya, RKUHP menjadi produk hukum hasil dari DPR bersama pemerintah. Sayangnya, draf RKUHP yang bakal disahkan menjadi UU dinilai masih memuat sederet pasal bermasalah yang selama ini ditentang oleh publik. Pasal-pasal bermasalah tersebut berpotensi membawa masyarakat Indonesia masuk ke masa penjajahan oleh pemerintah sendiri.
Citra menuturkan berdasarkan pantauan sementara Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pasal-pasal yang terkandung dalam draf akhir RKUHP masih memuat pasal-pasal anti demokrasi, melanggengkan korupsi di Indonesia, membungkam kebebasan pers. Kemudian, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, dan memiskinkan rakyat.
“Aturan ini lagi-lagi menjadi aturan yang tajam ke bawah, tumpul ke atas karena mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja,” ujarnya.
Sementara Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan masih adanya penolakan masyarakat terhadap RKUHP merupakan hak konstitusional warga negara dalam berdemokrasi. Apalagi melakukan unjuk rasa dalam menyampaikan pendapatnya dijamin oleh UU. Tapi pastinya, RKUHP telah melewati berbagai proses dari tahap penyusunan, pembahasan, sosialisasi dan dialog publik terhadap sejumlah pasal yang dipandang kontrovesial.
Menurutnya, RKUHP bentukan pemerintah bersama DPR tak dapat memuaskan seluruh elemen masyarakat. Meski demikian, nasib RKUHP harus diambil keputusan untuk disetujui dan disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan tingkat II. “Karena sudah disetujui dalam tingkat I, saya pikir itu sudah selesai di DPR,” katanya.
0 Komentar