Kekhawatiran pemerintah terhadap gejolak perekonomian global semakin mencuat memasuki penghujung kuartal IV - 2022. Ini karena perlambatan ekonomi dunia semakin nyata.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, perekonomian global masih terus menghadapi hantaman perlambatan pertumbuhan karena belum selesainya efek lanjutan downside risks dari pandemi Covid-19.
Pertumbuhan ekonomi global untuk 2022 kata dia akan berada pada rentang 2,8-3,2%. Lalu semakin menurun pada 2023 menjadi di kisaran 2,2-2,7% dari perkiraan awal berada di kisaran 2,9-3,3%.
"Pandemi Covid-19 menunjukkan kepada kita bahwa global solidarity bukan hanya jargon. Tidak ada yang benar-benar aman, sampai seluruh dunia aman," kata dia melalui keterangan tertulis, Jumat (9/12/2022).
Pemburukan dari dampak Pandemi Covid-19 terhadap perekonomian yang belum berakhir ini menurutnya semakin diperparah dengan lonjakan inflasi yang tinggi, pengetatan likuiditas dan suku bunga yang tinggi, stagflasi, gejolak geopolitik, climate change, serta krisis yang terjadi pada sektor energi, pangan, dan finansial.
Airlangga bahkan berpendapat, ketidakpastian yang tinggi akibat dari kondisi ini juga telah menempatkan perekonomian global berada dalam pusaran badai yang sempurna, the perfect storm, sehingga mengakibatkan munculnya ancaman resesi global pada 2023.
Sinyal pelemahan ekonomi global ini juga tercermin dari kembali melambatnya Purchasing Managers' Index (PMI) global yang berada di level kontraksi 48,8 pada November 2022, setelah pada bulan sebelumnya tercatat pada posisi 49,9.
Sejumlah negara di dunia yang terlihat masih mengalami kontraksi PMI pada November di antaranya China (49,4), Inggris (46,5), Amerika Serikat (47,7), Jepang (49), dan Jerman (46,2).
Menurut Airlangga, penurunan kinerja manufaktur secara global ini diantaranya merupakan imbas dari pelemahan indeks output serta terbitnya kekhawatiran sektor manufaktur terhadap prospek perekonomian ke depan.
Kendati begitu, ia menekankan, pertumbuhan seluruh sektor manufaktur ASEAN pada November 2022 tetap terjaga di level optimis, yakni di posisi 50,7. Ditopang indeks di Singapura (56,0), Filipina (52,7), Thailand (51,1), dan Indonesia (50,3). Sedangkan Malaysia sudah di level pesimistis atau di bawah 50 (47,9), bersama Vietnam (47,4) dan juga Myanmar (44,6).
Dari sisi inflasi, Airlangga berujar, pada tataran global masih terus merangkak naik dipicu terganggunya rantai pasokan global terutama pada sektor energi dan pangan akibat pandemi dan gejolak geopolitik.
Pada bulan Oktober 2022, inflasi tinggi tercatat masih terjadi di sejumlah negara seperti Argentina (88%), Turki (85,5%), Rusia (12,6%), Italia (11,9%), United Kingdom (11,1%), dan Uni Eropa (10,7%).
"Lonjakan inflasi yang kemudian direspons sejumlah negara dengan memberlakukan pengetatan kebijakan moneter melalui peningkatan suku bunga, pada akhirnya memberikan tekanan lebih kepada perekonomian global," kata Airlangga.
Dampak lanjutan atau second round effect tingkat inflasi yang tinggi juga akan dirasakan pada stabilisasi neraca perdagangan akibat penurunan permintaan ekspor. Selain itu, pasar tenaga kerja global juga akan mengalami pelemahan dengan terjadinya penurunan upah riil serta permintaan kredit yang cenderung akan mengalami penurunan akibat respons pengetatan likuiditas.
Dengan tingginya ketidakpastian perekonomian global tersebut, Airlangga mengatakan, pemerintah akan meningkatkan kewaspadaan dalam mengukur dampak rambatannya terhadap perekonomian nasional dan bersiap menghadapi stagflasi global. Ujung dari permasalahan ini menurutnya berpotensi meningkatkan jumlah angka korban pemutusan hubungan kerja (PHK) di Tanah Air.
"Tekanan capital outflow, depresiasi nilai rupiah, serta penurunan ekspor dan kinerja manufaktur yang berpotensi meningkatkan PHK menjadi dampak risiko eksternal yang harus mendapatkan perhatian lebih untuk diantisipasi," tuturnya.
0 Komentar