Pemerintah tetap mengatur soal penodaan agama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP yang draf finalnya diserahkan ke DPR kemarin. Dalam draf final ini, pelaku penista agama diancam pidana penjara lima tahun.
"Setiap orang di muka umum yang: melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan; menyatakan kebencian atau permusuhan; atau menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V," bunyi pasal 302 RKUHP.
Pasal 304 selanjutnya mengatur ancaman pidana penodaan agama melalui teknologi informasi. Pelaku tindak pidana ini juga diancam hukuman penjara maksimal lima tahun.
Sementara ancaman hukuman bagi orang yang mengajak orang lain tidak beragama, dua tahun penjara. Jika disertai kekerasan, pelaku akan mendapatkan hukuman yang lebih berat.
"Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal 304 RKUHP.
Pasal penodaan agama sudah beberapa kali digugat ke Mahkamah Konstitusi, namun selalu gagal. Dalam laporan yang dikeluarkan YLBHI, sepanjang Januari hingga Mei 2020 terdapat 38 kasus penodaan agama di seluruh Indonesia.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia juga menyayangkan sikap polisi dalam penanganan kasus-kasus penodaan agama itu . Menurut YLBHI, polisi masih tunduk pada tekanan massa.
“Polisi seringkali memproses kasus itu karena sudah viral,” kata Ketua YLBHI, Asfinawati, dalam peluncuran Laporan Penodaan Agama di Indonesia Sepanjang 2020 secara daring, Ahad, 4 Juli 2021.
Asfinawati mengatakan YLBHI menemukan banyak kasus polisi mulai menangani tindakan penodaan agama karena lebih dulu menjadi polemik di media sosial. Polisi, kata dia, kemudian berdalih bahwa penangkapan itu dilakukan untuk menjaga ketertiban umum. Padahal, pada pasal 156 KUHP tidak ada penjelasan mengenai ketertiban umum atau viral yang bisa membuat seseorang dipidana.
Selain itu, Asfinawati mengatakan ada pula kasus seorang pelaku dijemput paksa oleh sekelompok orang lalu dibawa ke kantor polisi. Dia menyayangkan kepolisian tetap memproses kasus tersebut.
0 Komentar