Sebagai politisi, nama Ganjar Pranowo, S.H, M.IP selalu berada dalam radar pemberitaan media massa nasional, meski sekarang sudah berkantor di Semarang. Di tengah kesibukannya saat berkunjung ke Jakarta, Gubernur Jawa Tengah yang mendapat penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas pengendalian korupsi dengan jumlah laporan gratifikasi terbanyak di tahun 2015 ini menyempatkan diri menerima femina.
Malam itu, mengenakan setelan santai kaus berkerah warna hitam, jins, dan sepatu kets, ia ditemani sang istri Siti Atikoh Suryani ramah menyapa kami. “Monggo…monggo,” ucapnya.
Terjerumus Lembah Politik
Tak pernah terbesit dalam benaknya bahwa ia akan menjalani kehidupan sebagai politikus. Ganjar muda yang saat itu berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, aktif tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Ia memang senang berorganisasi, berdemo menentang kekuasaan Orde Baru, dan menyukai hal-hal menantang lainnya, tapi itu dilakoninya hanya sebatas hobi. Tanpa disadari lambat-laun kesenangan itu membuatnya ‘terjerumus’ lebih dalam memasuki dunia politik.
“Partai pada saat itu tidak hanya PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), tapi juga Golkar meskipun mereka tidak ingin dikatakan partai. Tapi kala itu saya dididik oleh senior-senior bahwa Indonesia lahir dari keberagaman. Karena itu, ketika teman-teman memutuskan untuk berpartai, pilihannya adalah PDI. Tidak populer, tapi justru menjadi tantangan,” ujar pria kelahiran kelahiran Karanganyar, 28 Oktober 1968 ini.
Di awal perjalanannya menjadi kader partai, pertentangan pertama justru datang dari ayahnya, Parmuji. Maklum, semua keluarganya merupakan pegawai negeri sipil, ayahnya merupakan anggota polisi.
“Sewaktu saya pulang ke rumah saya di Kutoarjo menggunakan kaus PDI, Bapak langsung marah, saya disuruh buka kaus, ha ha ha,” kenang Ganjar.
Lucunya lagi, ketika saat itu ia gencar menyuarakan gagasan dan pikirannya dalam naungan partai PDI, Ganjar justru menemukan tambatan hati seorang putri seorang tokoh PPP yang notabene bertolak belakang sekali.
“Istri saya latar belakangnya NU totok dan dari pondok pesantren, sementara saya urakan. Kok, ndilalah dia mau sama saya. Untungnya, dia selalu mendukung keputusan saya, termasuk dalam politik,”ujar Ganjar, sambil memandang istrinya yang duduk di sampingnya.
Semenjak aktif di partai, Ganjar semakin serius mempelajari politik. Lulus dari UGM tahun 1995, bersama-teman-temannya dia merantau ke Jakarta demi bertemu kader-kader PDI pusat lainnya. Ia pun kian mempertajam kemampuan intelektualnya dari ikon-ikon politik Tanah Air, termasuk Megawati Soekarnoputri. Usai pecahnya peristiwa 27 Juli 1996 yang membuat PDI terbelah, pria berambut putih ini mantap untuk bergabung dengan PDI di bawah pimpinan Megawati.
Bersama Cornelis Lay (kader PDI) dan teman-teman dari GMNI, Ganjar ikut menyusun kurikulum awal sampai lahirnya PDI Perjuangan (PDIP). Bersama tim Ganjar juga ikut mengasistensi pembentuk di daerah, mengajar dan sebagainya. “Sejak diajak itu saya terjerumus ke jalan yang benar, ha ha ha… hingga akhirnya keterusan. Tapi jujur saja saya sangat menikmati karier sebagai politikus,” ujar Ganjar. Kegigihan dan keberanian untuk bersuara menjadikan reputasinya meningkat di kancah politik. Pria penyuka musik rock ini pun terpilih dua periode menjadi anggota legislatif dalam pemilu tahun 2009 dan dipercaya menduduki jabatan Wakil Ketua Komisi II.
Tak sampai di situ, Ganjar terus diandalkan teman-temannya dalam berpolitik. Ketika masa jabatannya sebagai anggota DPR belum tuntas, dia kembali dicalonkan menjadi calon Gubernur Jawa Tengah.
“Waktu itu saya mengusulkan Rustriningsih, lalu Olly Dondokambey (saat ini Gubernur Sulawesi Utara) malah mengusulkan nama saya. Akhirnya didukung teman-teman lainnya mereka mendaftarkan saya menjadi Cawagub Jawa Tengah. Waktu itu sudah ada 22 pendaftar, saya pendaftar ke-23 terakhir,” jelas Ganjar.
Tak disangka meski hanya berbekal popularitas tujuh persen, Ganjar justru memenangkan persaingan gubernur bersama Heru Sudjatmoko dengan merebut 48 persen suara.
Pendidikan Politik untuk Masyarakat
Terpilih menjadi Gubernur Jawa Tengah bersama Heru, Ganjar mengusung program pembangunan yang dikenal dengan Agenda 18. Pendidikan politik masyarakat menjadi hal yang diutamakan dalam program pembangunannya. Ironisnya, ketika misi pendidikan politik tersebut dicanangkan, Ganjar justru mendapat cemoohan dari banyak orang yang mengatakan misinya tidak jelas.
“Saya tidak merasa jumawa dalam politik, tapi politik praktis yang saya pahami adalah ketika rakyat menemukan masalah, ke mana mereka harus melapor? Buat saya itu politik. Ketika jalan di desa rusak dan rakyat tidak tahu ke mana harus melapor, itu politik,” ujar Ganjar.
Berpegang pada prinsip itu, Ganjar gencar terjun langsung ke desa-desa untuk meninjau kebutuhan masyarakat. Ia juga memerintahkan agar seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) memiliki akun Twitter. Tujuannya, agar masyarakat mudah melapor dan mendapatkan respons cepat dari pemerintah. Ia juga aktif memanfaatkan teknologi dalam menunjang pekerjaannya seperti melakukan video conference dengan masyarakat di desa pelosok untuk merespons langsung keluhan mereka.
“Ketika kita bisa merespons kebutuhan masyarakat dengan cepat maka misi pendidikan politik itu tercapai. Kalau perlu, ketika semua dinas sudah tidak bisa menangani, saya akan turun tangan sendiri untuk menyelesaikan,” ujar Ganjar yang sering disebut sebagai Gubernur Twitter.
Tak jarang Ganjar menemukan masalah-masalah ‘sepele’ yang dialami masyarakat, mulai dari kekurangan biaya RS, jalan yang belum diaspal, hingga masalah KTP belum jadi. Sewaktu kali ia pernah melakukan video conference dengan sebuah desa. Ibu-Ibu kader posyandu di desa tersebut meminta untuk diberikan apresiasi atas jerih payah kerja mereka dalam bentuk seragam kerja, alat-alat peraga posyandu, ambulans, dan pengaspalan jalan desa.
“Permintaan rakyat sebenarnya sangat sederhana. Kalau saya programkan, mereka tentu senang akan menerimanya tahun depan. Tapi saya ingin membuat mereka lebih senang lagi. Saya cari sponsor CSR dan meminta mereka mengantarnya ke desa minggu depan. Jauh lebih cepat dari perkiraan. Dengan begitu mereka akan mengatakan, negara ada, pemerintah hadir. Ketika saya berhasil melakukan itu, sangat puas rasanya,” ujar Ganjar.
Gaya berpolitik Ganjar yang spontan dan “terlalu merakyat” sering kali memunculkan tanggapan miring dari banyak kalangan. Banyak orang meledeknya tak pantas sebagai gubernur masih mengurus hal kecil.
“Seorang pengamat berkata gubernur harus berpikir yang besar. Saya jawab balik bahwa saya mau memikirkan hal-hal kecil karena rakyat kecil urusannya kecil. Urusan yang besar itu urusan orang-orang elit,” cerita Ganjar.
Sejak dulu Ganjar memang terbiasa hidup sulit dan bekerja keras membantu orang tuanya. Hal inilah yang membuatnya mengerti benar pentingnya menjadi penyambung lidah rakyat kecil. Bagi Ganjar ada kepuasan batin ketika dirinya dapat membantu kebutuhan rakyat.
“Politik zonder moral itu nothing, maka politik dengan moral itu wajib. Saya mungkin tidak terlalu ideal tapi saya belajar bahwa politik itu mencurahkan semuanya, politik itu menahan diri, politik itu harus ikhlas, politik itu harus jembar dadane (berlapang dada-red) sehingga keagungan politik itu ada. Mungkin saya tidak sempurna, tapi saya mencoba untuk ke sana,” ujarnya.
Teguh memegang prinsip, ia pun selalu mengingatkan keluarganya, termasuk kepada anak semata wayangnya Muhammad Zinedine Alam Ganjar (13) untuk siap menderita. Baginya tak ada kata ‘enak’ dalam politik. Kalaupun ada, itu merupakan sebuah akibat. Ia bahkan tidak masalah bekerja tak mendapatkan apa-apa, selama hasilnya bisa dinikmati rakyat.
“Dulu di awal-awal masa jabatan saya menjadi anggota dewan, istri saya sempat stres. Dia diajak arisan apartemen, berlian, wah, macam-macam. Untungnya istri saya nggak pernah mau. Dia enggak pernah minta macam-macam. Itu yang membuat saya semakin kuat untuk terus menggeluti dunia politik. Istri saya selalu memberikan dukungan yang menyenangkan,” ujar Ganjar.
Selain pendidikan politik, sebagai pejabat yang diusung partai dengan ketua umum perempuan, Ganjar juga menaruh perhatian pada masalah keadilan gender sebagai salah satu program pembangunannya. Ganjar sangat menyayangkan masih minimnya wanita politikus saat ini.
“Politik kita ini masih maskulin. Rapat hingga dini hari, berantem, berteriak. Tidak ada yang bicara soal pentingnya lampu penerangan atau pelecehan seksual. Padahal itu penting dan hanya perempuan yang bisa merasakan itu. Karena itu, untuk menyeimbangkannya butuh banyak wanita politikus berpartisipasi. Caranya bagaimana? Harus ada affirmative action, misalnya dengan pemberian nomor urut dan wanita harus ada pada nomor urut satu atau dua sehingga peluang keterpilihannya tinggi. Dan, wanita yang sudah duduk harus memahami fungsinya di sana, perubahan apa yang ingin dia lakukan,” ujar Ganjar yang selalu mengagumi langkah politik Megawati.
Sayangnya, menurut Ganjar kepedulian kaum wanita akan politik juga masih rendah. Ia tak menampik bahwa angka 30 persen yang diwajibkan diisi oleh partai dengan calon politikus wanita pada akhirnya menjadi minim pertimbangan.
“Pada akhirnya yang banyak terjadi partai hanya menyeleksi sebatas jenis kelamin, tanpa mengedepankan kemampuan dan agenda politik mereka. Kalau kita lihat banyak sekali wanita politikus yang terkena kasus. Bicara wanita dan politik masih sangat banyak PR-nya. Ini menjadi tanggung jawab partai politik, masyarakat, dan wanita itu sendiri,” ujarnya.
Ganjar berharap ke depan semakin banyak partai yang mulai melakukan kursus kaderisasi khusus perempuan, seperti yang pernah ia lakukan saat menjadi kader di partainya dulu. Dengan begitu semakin banyak wanita yang berkompeten untuk memimpin.
“Dalam sebuah kepemimpinan tidak dikenal jenis kelamin. Perbedaan laki-laki dan wanita hanya pada penis dan payudara, kok. Urusan sosial, politik, dan budaya semua sama. Perempuan bisa membuktikan, tidak perlu takut,” ujar Ganjar.
Cinta Beda Partai
Selalu ada wanita hebat di balik kesuksesan seorang pria. Ganjar yakin kariernya tak akan secemerlang ini tanpa dukungan sang istri, Atik. Ia mengenal istrinya ketika masih berkuliah di UGM. Menurutnya, Atik menjadi satu-satunya wanita yang mau didekatinya dahulu. “Dulu enggak ada cewek yang mau sama saya. Saya naksir tiga cewek ditolak semua. Mereka takut didekati saya. Saya dulu jelek, gondrong, sering demo, bolos, pokoknya semua contoh tidak baik ada di saya, ha ha ha...” cerita Ganjar.
Rupanya sikap Atik yang tenang dan pendiam serta kegigihannya dalam menjalani hidup kala itu menjadi daya tarik bagi Ganjar. “Saya, kan, nakal kalau cari pasangan yang nakal juga enggak asyik. Kalau dia bisa menjadi penyeimbang saya,” ujar Ganjar memuji.
“Lagipula saya mengenal dia saat itu sudah yatim piatu. Saya melihat dia memiliki kegigihan yang luar biasa untuk keluarganya. Ini menambah semangat saya untuk mendekati,” tambahnya.
Meski dari latar belakang partai yang berbeda, hal itu tidak pernah menjadi penghalang. Bahkan setelah menikah Atik tetap mendukung jalan politik Ganjar. “Dia istri yang sangat demokratis dan terbuka. Awalnya memang kaget karena saya berpolitik dengan PDI yang terkesan brutal. Tapi setelah saya jelaskan aktivitasnya, dia sangat mendukung dan mendoakan,” ujar Ganjar.
Ganjar mengingat masa lalu yang menarik di awal pernikahan mereka. Setelah menikah ia dan istri sempat menempati rumah milik mertua di Purbalingga yang juga menjadi kantor DPJ PPP.
“Terkadang tamunya kaget ketika masuk rumah melihat ada saya. Dikira salah masuk kantor PDI, ha ha ha… Gampang membedakan tamunya. Kalau tamunya ketuk pintu pelan disertai salam itu pasti tamu PPP untuk kakak ipar saya. Kalau ketuk pintunya keras sambil teriak, ‘Ganjar ada?’ itu pasti PDI. Akhirnya lama-lama kami terbiasa, saling toleransi saja,” ceritanya sambil tertawa lepas.
Sepak terjang Ganjar dalam berpolitik lambat laun memberikan gambaran baru bagi Atik, termasuk menghapus image buruk PDI di mata Atik.
”Mungkin dia mengamati suaminya, ternyata nggak seperti politikus lain yang gampang membeli barang mewah. Dia melihat politik sudah menjadi passion saya,” ujar Ganjar.
Selama berpolitik, Ganjar pun berusaha selalu terbuka kepada istri, bukan hanya soal pekerjaan tapi juga pendapatannya.
“Waktu saya kasih tahu gaji gubernur, kaget dia. Pendapatan gubernur hanya sekian, kenapa yang lain bisa mudah membeli barang mewah? Dulu waktu saya jadi anggota DPR sesekali pernah membelikan istri tas bermerek yang harganya Rp5 juta. Buat saya itu sudah mahal banget. Ternyata setelah saya tahu tas-tas branded lain itu harganya ratusan juta,” kata Ganjar.
Sama halnya dengan pesan almarhumah sang ibu, Sri Suparni, yang selalu mengingatkan dirinya untuk menjauhi korupsi. Satu pesan yang selalu diingat Ganjar dari sang istri, yaitu agar terus berpolitik untuk rakyat.
“Saya selalu bersyukur memiliki istri yang tidak pernah minta macam-macam. Saya pun selalu bilang ke dia untuk selalu mensyukuri apa yang kami punya saat ini. Dukungan darinya sangat besar. Itu yang membuat saya semakin kuat,” tutupnya.
0 Komentar