Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md menyatakan bahwa Presiden Jokowi bersikeras untuk menuntaskan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Paniai, Papua. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sebelumnya mengatakan bahwa perkara tersebut tidak memiliki bukti.
"Padahal kami sudah bilang datanya tidak cukup, tapi Pak Presiden memanggil kami dan bertanya kenapa kasus ini tidak dibawa ke pengadilan," kata Mahfud mengungkapkan saat jumpa pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Kamis, 15 Desember 2022.
Dia menjelaskan data yang tidak cukup itu termasuk, visum yang tidak ada, serta tidak jelas pelakunya siapa. Sehingga, kata Mahfid, kalau dibawa ke meja hijau akan kalah juga.
Mahfud Md mengaitkan kasus ini dengan kejadian di Timor-Timor, terdapat 34 orang dibebaskan, sedangkan yang dihukum hanya ada dua, salah satunya adalah mantan Wakil Panglima Milisi pro-Indonesia di Timor Leste Eurico Guterres. Meski begitu, sesudah Guterres dan rekan-rekannya mengajukan peninjauan kembali, dia dibebaskan dari segala tuduhan melalui keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan telah menemukan "bukti baru".
"Saya tahu kalau dari sudut perasaan itu betul pelanggaran ham, tapi kan pengadilan yang memutuskan," kata Mahfud.
Tetapi, kata Mahfud, presiden tetap ngotot ingin membawa perkara tersebut ke pengadilan, sebagai pertanda bahwa pemerintah serius melaksanakan rekomendasi Komnas HAM.
Putusan Pengadilan HAM dan tanggapan tim advokasi Papua
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) pada Pengadilan Negeri Makassar memberikan vonis bebas terhadap Mayor Inf (Purn) Isak Sattu yang menjadi terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai dalam sidang di Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar, Kamis, 8 Desember 2022. Hakim membebaskan Isak dari segala dakwaan jaksa.
Tim Advokasi Papua menyatakan tak heran dengan putusan ini. Pasalnya, menurut mereka, Kejaksaan Agung telah salah langkah dengan menetapkan Isak Sattu sebagai satu-satunya terdakwa dalam kasus ini.
"Sebenarnya dengan hanya ada satu orang tersangka dan terdakwa sejak awal, Kejaksaan Agung telah gagal mengungkap struktur komando dan pertanggungjawaban pidana ke atas," kata Teo melalui pesan tertulis kepada Tempo, Ahad 11 Desember 2022.
Teo menuturkan vonis bebas terhadap Isak Sattu telah membuktikan bahwa sebenarnya Pengadilan HAM Kasus Paniai dimaksudkan untuk gagal (intended to fail). Masalah itu, menurut dia, merupakan bentukan impunitas yang menghina HAM. Dia pun mendesak agar Kejaksaan Agung mengajukan kasasi atas putusan itu dan menjerat para pelaku lainnya.
Kronologi singkat kasus Paniai
Kasus Paniai ini diketahui berawal pada malam 7 Desember 2014 di Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Kejadian ini ditengarai diawali oleh teguran kelompok pemuda kepada anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang membawa mobil Toyota Fortuner Hitam tanpa menyalakan lampu. Teguran itu rupanya menyebabkan pertengkaran yang berujung penganiayaan oleh TNI.
Esok harinya, 8 Desember 2014, rombongan masyarakat Ipakiye berangkat menuju Enarotali, mendatangi Polsek Paniai dan Koramil untuk meminta penjelasan. Masyarakat berkumpul di Lapangan Karel Gobai yang terletak di depan Polsek dan Koramil sambil menyanyi dan menari sebagai bentuk protes terhadap tindakan aparat sehari sebelumnya.
0 Komentar