Keberadaan pasal yang mengatur ancaman pidana untuk perbuatan penghinaan terhadap presiden di draf RUU KUHP (RKUHP) menuai polemik. Partai Garuda, yang merupakan peserta Pemilu 2019, setuju dengan pasal tersebut.
"Mengenai pasal menghina presiden terancam penjara di RKUHP, seharusnya tidak menjadi polemik, karena yang namanya menghina tidak dapat dibenarkan baik secara ajaran agama maupun adab di masyarakat.
Kenapa hal negatif ini dianggap hal positif, sehingga tidak boleh dilarang jika ada yang melakukan penghinaan?" kata Waketum Partai Garuda Teddy Gusnaidi kepada wartawan, Jumat (8/7/2022).
Teddy mengatakan jika yang dilarang dalam RKUHP itu adalah mengkritik dan mengeluarkan pendapat, maka perlu ditentang, karena bertentangan dengan demokrasi dan UUD '45.
Menurut Teddy, negara demokrasi bukanlah negara barbar yang bebas sebebas-bebasnya, maka perlu ada aturan soal penghinaan. Kritik dan menghina, dia melanjutkan, adalah 2 hal yang berbeda.
"Kalau mempermasalahkan kata dalam draf RKUHP bahwa kata ini sebaiknya dihapus karena bisa menjadi multitafsir misalnya, itu wajar, tapi kalau menghapus pasal penghinaan, tentu itu kurang ajar, karena membiarkan warga negara menjadi barbar, membolehkan melanggar norma, adab dan ajaran agama," ulasnya.
Teddy juga menepis argumen 'kan yang dihina lembaganya, bukan orang secara personal' terkait pasal penghinaan presiden ini. Dia menganalogikan dengan penghinaan kepada organisasi, agama ataupun suku.
"Apakah orang boleh juga menghina agama? Organisasi? Suku, budaya dan sebagainya? Kan yang dihina bukan orang secara personal, tapi sesuatu yang berkaitan dengan orang tersebut. Saya yakin tidak akan ada yang setuju," kata Teddy.
"Maka dari itu, yang namanya menyerang kehormatan atau harkat dan martabat siapapun tentu tidak dibenarkan, termasuk terhadap Presiden. Ini hal yang normal yang dibuat seolah-olah tidak normal karena punya tujuan-tujuan tertentu," pungkasnya.
0 Komentar