Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru tidak sesuai dengan kebebasan dan hak asasi manusia (HAM). Pemerintah, lewat jubir RKUHP, menilai tidak tepat jika KUHP baru Indonesia tidak sesuai dengan HAM.
"Tidak benar jika dikatakan KUHP Indonesia tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM), sebab politik hukum yang terkandung dalam KUHP adalah bertujuan untuk menghormati dan menjunjung tinggi HAM berdasarkan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 (konstitusi)," kata jubir RKUHP Albert Aries dalam keterangannya, Kamis (8/12/2022).
Albert Aries menyebut pemerintah menghormati concern PBB atas isu-isu kesetaraan, privasi, kebebasan beragama, dan jurnalisme. Menurutnya, KUHP baru Indonesia juga mengatur semua itu.
Albert Aries menyebut pemerintah menghormati concern PBB atas isu-isu kesetaraan, privasi, kebebasan beragama, dan jurnalisme. Menurutnya, KUHP baru Indonesia juga mengatur semua itu.
"Atas dasar itulah, KUHP mengatur semuanya itu dengan memperhatikan keseimbangan antara hak asasi manusia dan juga kewajiban asasi manusia. Perlu kami tegaskan bahwa KUHP sama sekali tidak mendiskriminasi perempuan, anak, dan kelompok minoritas lainnya, serta Pers, sebab seluruh ketentuan terkait berasal dari KUHP sebelumnya yang sudah sedapat mungkin disesuaikan dengan misi dekolonisasi, demokratisasi, dan modernisasi yang diusung oleh KUHP," ucapnya.
Albert menyampaikan salah satu contoh ialah diadopsinya Pasal 6 huruf d UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers ke dalam Pasal 218 KUHP. Menurutnya, dalam pasal itu penyampaian kritik tidak dipidana.
"Sehingga penyampaian kritik tidak dipidana, sebab merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Tidak tepat juga apabila dikatakan KUHP melegitimasi sikap sosial yang negatif terhadap penganut kepercayaan minoritas, sebab pengaturan tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan dalam KUHP justru telah direformulasi dengan memperhatikan Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), sebagaimana masukan masyarakat sipil," ujar dia.
Lebih lanjut, Albert menyebut penyusunan KUHP juga sudah melibatkan masyarakat sipil secara maksimal. Dia menyebutkan pembentukan KUHP baru bukan lagi karena tenggat waktu, tapi kebutuhan pembaruan hukum pidana dan sistem pemidanaan modern.
"Sebagai negara hukum yang berdaulat, Indonesia akan senantiasa menghormati dan mempertimbangkan masukan dari masyarakat sipil yang konon kabarnya sudah bertemu dengan utusan PBB di Eropa," tuturnya.
"Untuk menghormati prinsip-prinsip hukum umum yang berlaku universal, KUHP bahkan telah mengadopsi substansi dari the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom (Treaty of Rome 1950), the International Covenant on Civil and Political Rights (the New York Convention, 1966), dan Convention against Torture and other Cruel, In Human or Degrading Treatment or Punishment, 10 December 1984," lanjutnya.
Pernyataan PBB
Sebelumnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti KUHP terbaru yang telah disahkan DPR. Menurut PBB, KUHP baru itu mengandung aturan yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia (HAM).
"Perserikatan Bangsa-Bangsa di Indonesia (PBB), seraya menyambut baik modernisasi dan pemutakhiran kerangka hukum Indonesia, mencatat dengan keprihatinan adopsi ketentuan tertentu dalam KUHP yang direvisi yang tampaknya tidak sesuai dengan kebebasan dasar dan hak asasi manusia, termasuk hak atas kesetaraan," kata lembaga tersebut dalam siaran pers yang dilansir di situs resmi PBB Indonesia, Kamis (8/12)
Tanpa menyebut nomor pasal, PBB menyoroti sejumlah hal dalam pernyataan tanggapan atas pengesahan KUHP ini. Ada masalah kesetaraan dan privasi yang menjadi catatan keprihatinan PBB, juga soal kebebasan beragama, jurnalisme, dan minoritas seksual/gender.
"PBB khawatir beberapa pasal dalam KUHP yang direvisi bertentangan dengan kewajiban hukum internasional Indonesia sehubungan dengan hak asasi manusia," kata PBB.
KUHP versi baru ini dinilai berisiko mendiskriminasi perempuan, anak, dan minoritas seksual, juga berisiko meningkatkan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Hasil kerja wartawan juga bisa berbuntut kriminalisasi ke pembuatnya bila KUHP ini diterapkan.
"Beberapa pasal berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers," kata PBB.
0 Komentar