Sejumlah anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 menerima uang dalam proyek KTP elektronik merujuk berita acara pemeriksaan diduga milik Miryam S Haryani.
Miryam adalah politikus Partai Hanura, anggota Komisi II DPR RI periode lalu. Dalam kasus KTP elektronik yang ditangani KPK, Miryam masih berstatus saksi dan disinyalir sebagai koordinator pemberi uang.
Dalam BAP pada 1 Desember 2016, Ketua Komisi II DPR RI Chairuman Harahap (saat itu) menugaskan Miryam mengkoordinir pemberian uang 300 ribu dolar AS (dua tahap) dari Sugiharto ke anggota komisi.
Sugiharto adalah pejabat pembuat komitmen proyek KTP elektronik pada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
"Saya hanya diminta untuk memasukkan dalam dalam masing-masing amplop dan membagikan kepada seluruh anggota Komisi II DPR RI," demikian ungkap Miryam di depan penyidik.
Dari uang 100 ribu dolar AS tahap pertama, setiap anggota Komisi II per orang mendapat Rp 30 juta (3 ribu dolar AS), setiap kapoksi per orang Rp 75 juta (7 ribu dolar AS), setiap pimpinan per orang Rp 100 juta (10 ribu dolar AS).
"Kemudian saya juga pernah memberikan kepada 4 (empat) orang Pimpinan Komisi II DPR RI masing-masing Rp 100.000.000, yakni 1. Alm Burhanudin Napitupulu dari Fraksi Golkar, 2. Sdr Ganjar Pranowo dari Fraksi PDI-P namun dikembalikan kepada saya, saya serahkan kembali kepada sdr Yasonna Laoli selaku Kapoksi, 3. Sdr Taufik Efendi dari Fraksi Demokrat, 4. Sdr Teguh Juwarno dari Fraksi PAN," begitu kata Miryam.
Sementara dari penyerahan 200 ribu dolar AS tahap kedua, setiap anggota Komisi II per orang menerima Rp 50 juta (5 ribu dolar AS), setiap Kapoksi per orang Rp 75 juta (7 ribu dolar AS), setiap pimpinan per orang Rp 150 juta (15 ribu dolar AS).
Miryam membagikan uang seperti tahap pertama untuk anggota Komisi II melalui kaposki per fraksi. Begitu juga ia memberikan uang ke para pimpinan komisi tapi hanya Ganjar yang menolak.
Ganjar, yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah itu, kemudian mengembalikan uang kepada Miryam. Oleh Miryam uang tersebut diserahkan kembali kepada Yasonna selaku kapoksi Fraksi PDI Perjuangan.
Pada BAP tertanggal 7 Desember 2016, Miryam mengubah nominal pembagian uang untuk penyerahan 100 ribu dolar AS tahap pertama kepada anggota komisi per orang Rp 15 juta (1500 dolar AS), kapoksi per orang Rp 15 juta (1500 dolar AS), empat pimpinan Komisi II per orang Rp 30 juta (3000 dolar AS).
Dari empat pimpinan, hanya Ganjar yang mengembalikan uang pemberian Miryam. Oleh Miryam uang tersebut kembali diserahkan kepada Yasonna selaku kapoksi.
Miryam juga mengubah nominal pembagian atau penyerahan uang 200 ribu dolar AS tahap kedua ke setiap anggota Komisi II per orang Rp 25 juta (2500 dolar AS), setiap kapoksi per orang Rp 25 juta (2500 dolar AS), setiap pimpinan per orang Rp 30 juta (3000 dolar AS).
Cara pemberian uang menurut Miryam di BAP kedua sama seperti dalam BAP pertama. Untuk anggota melalui Kapoksi dan Miryam menyerahkan langsung kepada empat pimpinan.
Saat hadir sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (23/3/2017), Miryam menyangkal seluruh berita acara pemeriksaan dirinya di depan penyidik KPK.
Merujuk BAP yang beredar, setidaknya Miryam pernah menjalani pemeriksaan sebagai saksi di depan penyidik KPK pada 1, 7, dan 14 Desember 2016 dan 24 Januari 2017.
Di muka persidangan Miryam membantah pernah dimintai pimpinan Komisi II DPR RI untuk menerima sesuatu dari Ditjen Dukcapil Kemendagri terkait e-KTP.
Padahal, keterangan tersebut tertera dalam BAP Miryam. Akhirnya, Miryam mengaku diancam penyidik untuk mengaku adanya penerimaan uang untuk memuluskan pembahasan anggaran e-KTP di Komisi II.
"Saya cabut semua keterangan saya Yang Mulia," kata Miryam.
Ganjar mengaku pernah ditawari sejumlah uang dalam pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012 oleh dua rekannya di Komisi II dulu, yakni Mustoko Weni dan Miryam.
"Seinget saya Bu Mustoko Weni, kemudian Bu Miryam coba inget-inget lagi, ooh dia pernah tawari saya," kata Ganjar di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (30/3/2017).
Meski ditawari kedua orang tersebut, Ganjar langsung menolak dan tidak menerimanya. "Setidaknya ada orang yang kasih saya," ia menegaskan.
Ganjar hadir di Pengadilan Tipikor untuk memberikan kesaksian dalam kasus KTP elektronik. Ia membawa serta semua dokumen untuk dijelaskan di muka persidangan.
Setelah kasus ini meledak, Yasonna membantah ikut menerima uang dari hasil proyek pengadaan KTP elektronik. Ia mengakui pernah duduk sebagai anggota Komisi II DPR RI periode lalu.
Politikus PDI Perjuangan itu mengatakan dia bersama fraksinya sebagai oposisi Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan menentang kebijakan pengadaan KTP elektronik.
"Kita kan dulu oposisi, jadi sangat kritis soal itu. Kami melihat dulu e-KTP itu sangat penting untuk identitas diri. Jadi kami harus kritis," kata Yasonna di Hotel Pullman, Jakarta, Senin (6/3/2017).
Disinggung berapa banyak anggota dewan yang terlibat saat itu, Yasonna hanya geleng kepala. "Yang saya tahu diri saya tidak ada urusan dengan yang begitu," tegas dia.
0 Komentar