Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara buka-bukaan alasan utama pemerintah mematok target penerimaan pajak sebesar Rp 1.718 triliun pada tahun ini, atau hanya tumbuh 0,07% dari realisasi pada 2022 sebesar Rp 1.716,8 triliun.
Menurut dia, ini merupakan bentuk kehati-hatian pemerintah dalam mendesain anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di tengah perekonomian dunia yang masih penuh dengan ketidakpastian, terutama disebabkan oleh anjloknya harga-harga komoditas.
"Pertumbuhan target pajak tidak terlalu tinggi, cukup moderat dan kita yakin bisa lakukan, namun bukan berarti pasti kita dapatkan karena ini harga komoditas bergerak dan lebih spesifiknya turun dibanding 2022, tapi ketidakpastian tinggi," kata Suahasil, Jumat (13/1/2023).
Oleh sebab itu, ia mengaku, dalam menjalankan APBN pada tahun ini akan dilakukan secara cermat oleh Kementerian Keuangan sambil terus mengantisipasi berbagai perkembangan ekonomi di tingkat global maupun domestik. Ia pun tak memungkiri penyesuaian bisa saja dilakukan nantinya.
"Semua tau, dunia usaha, dan masyarakat, di Kementerian Keuangan, kita, termasuk disiplin melaporkan setiap bulan, kita pastikan angka-angka itu kita dudukan, dan kita lihat progresnya sehingga kita bisa lakukan adjustment kalau diperlukan," ujar Suahasil.
Ia pun mengungkapkan sejumlah risiko yang harus dihadapi dalam mengumpulkan pajak pada tahun ini, selain karena risiko harga komoditas yang turun, ia mengatakan tidak ada lagi Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang pada 2022 mampu memberikan sumbangan ke APBN sebesar Rp 60,76 triliun.
"Itu ada penerimaan yang kita anggap tidak akan terulang di 2023, khususnya Program PPS Rp 60 triliun lebih di 2022, kan enggak ada lagi di 2023 jadi pasti enggak ada penerimaan itu. Karena itu kita akan sangat cautious, tapi kita optimis itu bisa kita dapatkan," tuturnya.
0 Komentar